Senin, 22 Juli 2024

Hidup Tenang Hati Senang

Kehidupan manusia adalah penjelmaan dari pikiran-pikirannya sendiri. Oleh karenanya, jika kita menghendaki ketenangan atau kegelisahan, maka kita harus megembangkan penguasaan terhadap pikiran-pikiran kita  yang menunjuk ke arah kemantapan jiwa yang menaklukan kecemasan “

Orang yang beriman diibaratkan sebuah gunung yang tegar. Sekalipun dunia di sekeliling goncang, angin topan menerjang, petir bergemuruh, sungai meluap banjir, dan gelombang lautan tergoyahkan. Ia menancapkan kakinya di hamparan pintu kekuasaan Allah, meletakkan tangannya dalam naungan kasih sayang Allah, serta mempertautkan kehidupannya dengan Allah.

Dan slogan yang selalu dipegang oleh orang beriman adalah apa yang telah difirmankan Allah kepada Rasul-Nya.

Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa Kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah pelindung Kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal."(QS.At-Taubah [9]:51)

Orang yang tidak mempunyai keimanan yang benar akan selalu menderita kehampaan rohani dan selalu merasakan kesempitan diri. Tetapi orang yang beriman dengan benar hidupnya selalu diselimuti rasa aman dan kedamaian pikiran.

Apabila hati dipenuhi oleh iman, maka seluruh indra, perasaan dan anggota tubuh tergerak untuk melakukan kebaikan dan amal sholeh. Dan setiap iman bertambah dalam hati, maka kekuatan kebaikan pun akan bertambah, lalu hati seorang mukmin pun akan terasa lapang. Kelapangan dada adalah buah sifat qana’ah. Lebih dari ini, iman merupakan kekuatan yang mampu menanamkan ketenangan dalam jiwa, rasa aman dan damai dalam hati.

Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi[1394] dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana, (QS.Al-Fath [48]:4)

Dr. Yusuf Al Qardhawi mengatakan, iman adalah kekuatan pendorong yang memberikan stimulus kepada manusia untuk memberi dan membangun, mengerjakan kebajikan serta berlomba-lomba menuju kebaikan. Iman adalah kekuatan yang mampu memotivasi seseorang agar berbuat hanya demi Allah, karena Allah dan untuk Allah. Iman akan memelihara manusia dari bisikan-bisikan setan dan sifat-sifat kebinatangan yang rendah. Dan iman juga sebagai alat penggerak segala bentuk ketaatan dan kebaikan. Itulah sebabnya Allah menyerukan kepada hamba-Nya agar melaksankan kebajikan dan meninggalkan kejahatan, karena itu adalah syarat bagi kesempurnan iman.

Hakekat iman sesungguhnya bukan hanya sekedar ‘membenarkan’ atau ‘percaya’. Tetapi ia juga bermakna keberpihakan kepada Allah dan Rasul-Nya. Karena jika hanya di artikan sekedar ‘percaya’ tanpa keberpihakan, apa bedanya dengan iblis, bukankah iblis juga percaya kepada Allah. Lantas apakah iblis di sebut sebagai orang yang beriman, tentu saja tidak. Apalagi dengan tegas Allah memposisikan iblis sebagai makhluk pembangkang yang sangat nyata. Sebagai mana Allah berfirman:

 “ Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (Adam), lalu Kami bentuk tubuhmu, kemudian Kami katakan kepada Para Malaikat: "Bersujudlah kamu kepada Adam", Maka merekapun bersujud kecuali iblis. Dia tidak Termasuk mereka yang bersujud. Allah berfirman: "Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu aku menyuruhmu?" Menjawab iblis "Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang Dia Engkau ciptakan dari tanah". Qs. Al-A’raf [7]:11-12

Lihatlah dalam ayat ini, betapa iblis dengan begitu angkuh tidak mau sujud kepada Adam. Padahal sujud merupakan bentuk penghormatan, sekaligus taat memenuhi perintah untuk berpihak kepada Allah. Tetapi setan malah menunjukan pengingkarannya dengan tidak mau berpihak kepada Allah dan Rasul-Nya. Berbeda dengan orang yang beriman, ketika Allah dan Rasul-Nya memerintahkan sesuatu kepadanya, maka ia langsung sami’na wa atho’na  (dengar dan thoat).

Akhirnya, pilihan yang terbaik agar kehidupan kita bertambah baik adalah selalu bersandar kepada kekuasaan Allah yang memberikan kita jalan.  Sebab hidup berdasarkan keyakinan yang penuh akan kekuasaan Allah dan selalu bersandar di teras kesadaran untuk mengakui segala kebenaran yang datang dariNya akan menghadirkan ketenangan (muthmainah) qalbu.

Mutmainah digambarkan oleh Ibnul Qayim al-Azzaujiah dengan kalimat yang begitu indah, beliau mengungkapkan: bila diri telah berpindah dari keraguan kepada keyakinan, dari kebodohan kepada ilmu, dari kealpaan kepada zikir, dan dari khianat kepada taubat, dari riya kepada ikhlas, dari dusta kepada kejujuran, dari kelemahan kepada semangat yang membaja dari ujub kepada ketundukan dan dari

Hanya Allah tempat segala kesempurnaan dan kebaikan. Sebab memang Dialah segala apapun bermula dan berakhir. Dialah yang Maha Terpuji yang tidak ada satu pun membandingi keterpujian-Nya. Dialah sumber kekuatan yang segala kekuatan apapun bersumber dari kekuatan-Nya. “Laa Haulaa wala Quwwata Illa billahil ‘aliyyil ‘adziim ”.

Dialah Allah sang pemberi nikmat, yang rahmat-Nya lebih luas daripada murka-Nya, jika hati merasa dekat kepada Allah yang Maha Kuat dan Maha segalanya, akan menghadirkan ketenangan, membuat jiwa selalu merasakan adanya perlindungan dan tempat bergantung. Insya Allah, bila kita serahkan hidup ini dengan berbagai persoalan kepada Allah dengan keyakinan yang mutlak hanya kepada-Nya, akan membuat hati menjadi tegar dalam menghadapi problema dan tantangan kehidupan.

 

Meredam Kecewa Hati

 

Kekecewaan  merupakan reaksi atas ketidaksesuaian antara harapan, keinginan dengan kenyataan. Sakit hati dan kecewa adalah bagian dari perasaan buruk. Jika dipendam, dapat menimbulkan dampak negatif hingga sampai pada upaya berbuat kerusakan. Sakit hati adalah kemarahan jiwa akibat kekecewaan yang begitu berat.  Menurut tinjauan ilmu  Psychology, kekecewaan adalah kehilangan dan kesedihan yang mungkin timbul karena kehilangan sesuatu. Ketika itulah mungkin sulit untuk mengakui seberapa dalam dan tajam rasa sakitnya.

Kekecewaan dan rasa kecewa sebetulnya tidak selalu berdampak buruk selama kita mampu mengelolanya. Kekecewaan bisa menjadi alarm yang memberitahu kita bahwa ada sesuatu yang salah, yang tentunya harus kita perbaiki. Kekecewaan juga mengajarkan kita untuk lebih berhati-hati dalam mengambil langkah ke depan agar kita tidak mengalami hal yang sama.

Kecewa datang dari hati yang bersandar dan berharap kepada manusia. Semakin dalam kita berharap kepada manusia maka semakin mudah pula hati kita tersakiti. Ketika kita mengharapkan rasa dan kebaikan yang kita beri nantinya akan terbalas, dan kita menginginkan agar orang lain melihat dan menghargai jerih payah kita, hendaknya kita bersiap diri akan datangnya kekecewaan.

Rambu-rambu agama telah mengajarkan kita agar mengendalikan amarah dengan cara yang telah dituntunkan oleh wahyu dan tuntunan Rosululloh. Pengendalian marah merupakan suatu cara dalam melakukan manajemen qalbu, yakni mengarahkan dan mengontrol nafsu yang merusak diri dan membuat kehancuran. Sifat  emosional  merupakan nafsu amarah yang mengarah kepada kejahatan:

Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang. (Q.S. Yusuf, 12.53),

Sedangkan nafsu Lauwammah merupakan nafsu yang menjadikan diri kita menyesal setelahnya/menimbulkan penyesalan diri: Dan aku bersumpah dengan jiwa yang Amat menyesali (dirinya sendiri). (Q.S.Al Qiyamah, 75:2

Marilah kita cari jawaban itu dengan hati yang dingin, agar kecewa  hati bisa terobati dan aktivitas hidup bisa tertata kembali. Ada beberapa hal yang harus kita sikapi dengan kepala dingin, agar perasaan kecewa tidak berkepanjangan.

1.  Bersyukurlah kepada Allah, karena Dia telah mensucikan kita kembali dengan cara dipisahkannya kita dari orang yang kita cintai. Biarlah ia pergi jika keberadaannya di sisi kita hanya menambah dosa dan kemaksiatan.

2. Jangan terlalu larut oleh rasa kecewa, karena hanya akan menyia-nyiakan waktu hidup yang tidak berguna. Yakinlah, Allah akan memberi yang terbaik dari pada yang kita pikirkan. Apalagi orang yang selalu kita pikirkan, belum tentu memikirkan kita.

3. Tetaplah jaga kesucian diri, jangan terperosok ke lubang maksiat kedua kali. Serahkan hidup ke pada Allah dan bersabarlah dari ujian yang sedang kita hadapi. Seseorang muslim seharusnya mampu menahan diri dengan bersikap tabah. “Dan bersabarlah kamu bersama-sama orang yang menyeru Tuhan-Nya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhoan-Nya. (Qs. Al Kahfi;24)

4. Lakukan intropeksi diri, ternyata cinta yang selama ini kita pertahankan, justru membuat kita banyak melupakan kewajiban sebagai hamba Allah. Kita sibuk mengingat si dia, kita pasrahkan diri kepadanya dan tanpa disadari kita menjadi hamba hawa nafsu kita sendiri.

5.  Jangan tangisi ketika si dia mendustai, tetapi tangisilah diri kita yang sedang terlelap dalam buaian dosa. Memang dia telah membuat hidup kita berkesean. Tetapi ketahuilah, dia juga telah meninggalkan saham dosa yang tidak sedikit.

6.  Takutlah kamu kepada Allah, dimana saja kamu berada dan ikutilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik, niscahya dia (Allah) akan menghapuskannya. Rasulullah bersabda; Tali keimanan yang kokoh adalah saling menolong (setia) karena Allah, saling bermusuhan karena Allah, cinta karena Allah dan benci karena Allah pula “    ( HR. Bukhari )

 

Amalan Tergantung Akhirnya

Anwar Anshori Mahdum Saudaraku, jika kita tidak tahu di bumi manakah kita akan mati, di waktu kapankah kita akan meninggal, dan dengan cara ...