Kehidupan manusia adalah penjelmaan dari pikiran-pikirannya sendiri. Oleh karenanya, jika kita menghendaki ketenangan atau kegelisahan, maka kita harus megembangkan penguasaan terhadap pikiran-pikiran kita yang menunjuk ke arah kemantapan jiwa yang menaklukan kecemasan “
Orang yang beriman diibaratkan sebuah gunung yang tegar. Sekalipun dunia di sekeliling goncang, angin topan menerjang, petir bergemuruh, sungai meluap banjir, dan gelombang lautan tergoyahkan. Ia menancapkan kakinya di hamparan pintu kekuasaan Allah, meletakkan tangannya dalam naungan kasih sayang Allah, serta mempertautkan kehidupannya dengan Allah.
Dan slogan yang selalu dipegang oleh orang beriman adalah apa yang telah difirmankan Allah kepada Rasul-Nya.
Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa Kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah pelindung Kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal."(QS.At-Taubah [9]:51)
Orang yang tidak mempunyai keimanan yang benar akan selalu menderita kehampaan rohani dan selalu merasakan kesempitan diri. Tetapi orang yang beriman dengan benar hidupnya selalu diselimuti rasa aman dan kedamaian pikiran.
Apabila hati dipenuhi oleh iman, maka seluruh indra, perasaan dan anggota tubuh tergerak untuk melakukan kebaikan dan amal sholeh. Dan setiap iman bertambah dalam hati, maka kekuatan kebaikan pun akan bertambah, lalu hati seorang mukmin pun akan terasa lapang. Kelapangan dada adalah buah sifat qana’ah. Lebih dari ini, iman merupakan kekuatan yang mampu menanamkan ketenangan dalam jiwa, rasa aman dan damai dalam hati.
Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi[1394] dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana, (QS.Al-Fath [48]:4)
Dr. Yusuf Al Qardhawi mengatakan, iman adalah kekuatan pendorong yang memberikan stimulus kepada manusia untuk memberi dan membangun, mengerjakan kebajikan serta berlomba-lomba menuju kebaikan. Iman adalah kekuatan yang mampu memotivasi seseorang agar berbuat hanya demi Allah, karena Allah dan untuk Allah. Iman akan memelihara manusia dari bisikan-bisikan setan dan sifat-sifat kebinatangan yang rendah. Dan iman juga sebagai alat penggerak segala bentuk ketaatan dan kebaikan. Itulah sebabnya Allah menyerukan kepada hamba-Nya agar melaksankan kebajikan dan meninggalkan kejahatan, karena itu adalah syarat bagi kesempurnan iman.
Hakekat iman sesungguhnya bukan hanya sekedar ‘membenarkan’ atau ‘percaya’. Tetapi ia juga bermakna keberpihakan kepada Allah dan Rasul-Nya. Karena jika hanya di artikan sekedar ‘percaya’ tanpa keberpihakan, apa bedanya dengan iblis, bukankah iblis juga percaya kepada Allah. Lantas apakah iblis di sebut sebagai orang yang beriman, tentu saja tidak. Apalagi dengan tegas Allah memposisikan iblis sebagai makhluk pembangkang yang sangat nyata. Sebagai mana Allah berfirman:
“ Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (Adam), lalu Kami bentuk tubuhmu, kemudian Kami katakan kepada Para Malaikat: "Bersujudlah kamu kepada Adam", Maka merekapun bersujud kecuali iblis. Dia tidak Termasuk mereka yang bersujud. Allah berfirman: "Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu aku menyuruhmu?" Menjawab iblis "Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang Dia Engkau ciptakan dari tanah". Qs. Al-A’raf [7]:11-12
Lihatlah dalam ayat ini, betapa iblis dengan begitu angkuh tidak mau sujud kepada Adam. Padahal sujud merupakan bentuk penghormatan, sekaligus taat memenuhi perintah untuk berpihak kepada Allah. Tetapi setan malah menunjukan pengingkarannya dengan tidak mau berpihak kepada Allah dan Rasul-Nya. Berbeda dengan orang yang beriman, ketika Allah dan Rasul-Nya memerintahkan sesuatu kepadanya, maka ia langsung sami’na wa atho’na (dengar dan thoat).
Akhirnya, pilihan yang terbaik agar kehidupan kita bertambah baik adalah selalu bersandar kepada kekuasaan Allah yang memberikan kita jalan. Sebab hidup berdasarkan keyakinan yang penuh akan kekuasaan Allah dan selalu bersandar di teras kesadaran untuk mengakui segala kebenaran yang datang dariNya akan menghadirkan ketenangan (muthmainah) qalbu.
Mutmainah digambarkan oleh Ibnul Qayim al-Azzaujiah dengan kalimat yang begitu indah, beliau mengungkapkan: bila diri telah berpindah dari keraguan kepada keyakinan, dari kebodohan kepada ilmu, dari kealpaan kepada zikir, dan dari khianat kepada taubat, dari riya kepada ikhlas, dari dusta kepada kejujuran, dari kelemahan kepada semangat yang membaja dari ujub kepada ketundukan dan dari
Hanya Allah tempat segala kesempurnaan dan kebaikan. Sebab memang Dialah segala apapun bermula dan berakhir. Dialah yang Maha Terpuji yang tidak ada satu pun membandingi keterpujian-Nya. Dialah sumber kekuatan yang segala kekuatan apapun bersumber dari kekuatan-Nya. “Laa Haulaa wala Quwwata Illa billahil ‘aliyyil ‘adziim ”.
Dialah
Allah sang pemberi nikmat, yang rahmat-Nya lebih luas daripada murka-Nya, jika
hati merasa dekat kepada Allah yang Maha Kuat dan Maha segalanya, akan
menghadirkan ketenangan, membuat jiwa selalu merasakan adanya perlindungan dan
tempat bergantung. Insya Allah, bila kita serahkan hidup ini dengan berbagai
persoalan kepada Allah dengan keyakinan yang mutlak hanya kepada-Nya, akan
membuat hati menjadi tegar dalam menghadapi problema dan tantangan kehidupan.