Senin, 19 Agustus 2024

5 M Benteng Istiqomah

Anwar Anshori Mahdum

Istiqomah adalah menempuh jalan (agama) yang lurus (benar) dengan tidak berpaling ke kiri maupun ke kanan yang mencakup pelaksanaan semua bentuk ketaatan (kepada Allah) lahir dan batin, dan meninggalkan semua bentuk larangan-Nya (Ibnu Rajab Al Hambali).

Sebagai sebuah akhlak yang mulia, sikap istiqamah yang dimiliki oleh orang beriman akan membuahkan banyak hal-hal positif. Dalam surat Fushshilat ayat 30-32 disebutkan:

إِنَّ ٱلَّذِينَ قَالُواْ رَبُّنَا ٱللَّهُ ثُمَّ ٱسۡتَقَـٰمُواْ تَتَنَزَّلُ عَلَيۡهِمُ ٱلۡمَلَـٰٓٮِٕڪَةُ أَلَّا تَخَافُواْ وَلَا تَحۡزَنُواْ وَأَبۡشِرُواْ بِٱلۡجَنَّةِ ٱلَّتِى كُنتُمۡ تُوعَدُونَ -٣٠- نَحۡنُ أَوۡلِيَآؤُكُمۡ فِى ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا وَفِى ٱلۡأَخِرَةِ‌ۖ وَلَكُمۡ فِيهَا مَا تَشۡتَهِىٓ أَنفُسُكُمۡ وَلَكُمۡ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ -٣١- نُزُلاً۬ مِّنۡ غَفُورٍ۬ رَّحِيمٍ۬ – ٣٢ 

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: Tuhan kami ialah Allah, kemudian mereka istiqamah, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan memperoleh surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu. Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) apa yang kamu minta. Sebagai hidangan (bagimu) dari Tuhan Yang Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang.” [Q.s. Fushshilat (41): 30-32].

Agar kehidupan tetap berada didalam bingkai keimanan dan tetap istiqomah pada ketaatan. Tetapkan kesadaran untuk melakukan beberapa hal, yang terangkum dalam rumus 5M. yaitu: Muhasabah, Muroqobah, Muahadah, Muaqobah dan Mujahadah.

A.    Muhasabah (Intropeksi diri)

Secara etimologis, muhasabah merupakan bentuk mashdar (bentuk dasar) dari kata hasaba-yuhasibu yang kata dasarnya hasaba-yahsibu atau yahsubu yang berarti menghitung. Orang akan mau melakukan muhasabah karena keyakinan bahwa Allah SWT akan menghitung amal semua hamba-Nya. Jika amal seseorang baik maka akan mendapatkan balasan dari Allah kebaikan juga. Dan sebaliknya jika amalan seseorang itu buruk maka balasan yang buruk juga dari Allah. Dengan melakukan muhasabah diri seorang manusia akan membuka hati dan menyadari segala dosanya. muslim yang taat akan bertaubat dan tak mengulangi kesalahannya.

Manusia adalah makhluk yang sangat memerlukan evaluasi diri dan penilaian ulang. Kehidupannya, baik yang bersifat individual maupun sosial, sangat perlu diperhatikan. Itu tak lain karena sisi spiritual dan intelektual selalu berubah-ubah. Cepat terwarnai dengan keadaan yang menyertainya. Hari ini baik, besok bisa sangat baik. Atau hari ini sangat baik, besok mungkin saja sangat tidak baik.  Disinilah perlunya kita intropeksi diri (muhasabah), agar kebaikan tetap bisa kita pertahankan. Sebab kita tak pernah tahu kapan kita akan dimatikan. Hidup dan mati kita Allahlah yang mengatur, yang kita tahu adalah bahwa setiap kita pasti mati.

Muhasabah sangat membantu seseorang untuk istiqamah di jalan Allah Ta’ala Hasan al-Basyri pernah berkata: Seorang mukmin itu pemimpin bagi dirinya sendiri. Ia menghisab dirinya karena Allah. Dalam Alquran dijelaskan secara eksplisit terkait anjuran untuk muhasabah, seperti yang tertuang dalam surat Al-Hasyr ayat 18, Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Selain untuk mengoreksi diri atau melihat kembali hal-hal yang kurang baik dilakukan, muhasabah juga bermanfaat untuk membentuk diri jadi lebih bertanggung jawab. Diriwayatkan dari Umar bin al-Khatthab:

 حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا، وَتَزَيَّنُوا لِلْعَرْضِ الأَكْبَرِ

Koreksilah diri kalian sebelum kalian dihisab dan berhiaslah (dengan amal saleh) untuk pagelaran agung (pada hari kiamat kelak).” (HR. Tirmidzi)  

Selain itu, dari Maimun bin Mihran:

 لَا يَكُونُ العَبْدُ تَقِيًّا حَتَّى يُحَاسِبَ نَفْسَهُ كَمَا يُحَاسِبُ شَرِيكَهُ

“Hamba tidak dikatakan bertakwa hingga dia mengoreksi dirinya sebagaimana dia mengoreksi rekannya” (HR Tirmidzi)

Seorang muslim harusnya sangat menyadari, bahwa apapun yang dilakukannya kelak akan dipertanggung jawabkan dihadapan Allah. Dan menyadari pula bahwa setiap hembusan nafasnya adalah mutiara yang sangat bernilai. Maka ia tidak menyia-nyiakan walau sesaatpun.  

Ketahuilah sahabat, Kepentingan menghisab diri ini kita dilakukan untuk mengetahui dua hal, yaitu; Pertama: untuk mengetahui segala aib diri, apakah kebaikannya lebih banyak dari pada keburukan kita, ataukah sebaliknya. Kedua: untuk mengetahui hak Allah terhadap kita. Apakah kewajiban kita sebagai hamba Allah sudah disempurnakan ataukah dilalaikan. Dari dua kesadaran ini akan lahir kepribadian yang istiqomah dan sikap mental yang tidak mudah melemah.

B.  Muroqobah (Selalu Merasa diawasi Allah)

Kata muroqobah berasal dari bahasa Arab  مراقبة   dari asal kata raqaba  رقب  yang berarti mengintai atau mengawasi (Munawwir, 1997:519). Arti dari Muroqobah adalah Melihat Allah swt dengan mata hati dan menghubungkannya dengan perbuatan selama ini. Kemudian mengambil himmah atau jalan yang terbaik bagi dirinya dengan mempertimbangkan dan merasakan adanya pemantauan Allah swt pada dirinya .

Muroqabah adalah kesadaran diri seseorang yang berkeyakinan bahwa dirinya selalu dalam pengawasan Allah Swt. Sehingga dengan kesadaran ini mendorong manusia senantiasa rajin melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Orang yang sadar bahwa Allah selalu mengawasi hidupnya, maka ia akan terbentengi dari kesalahan dan dosa. Rasa khauf (takut) selalu menyelimutinya bila ia melakukan kesalahan. Khauf (rasa takut) akan membakar syahwat yang diharamkan Allah, sehingga kemaksiatan yang dulu disukai jadi dibenci. Kesombongan yang dulu dipertahankan berubah menjadi ketawadhuan, Ia selalu waspada terhadap langkah, pikiran dan kalimat yang keluar dari dirinya. Ia menyadari betul tentang firman Allah di bawah ini: Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dengan urat lehernya, yaitu ketika dua malaikat mencatat amal perbuatannya, satu duduk disebelah kanan dan yang lain duduk disebelah kiri. Tiada satu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.(Qs Qaf [50]:16-18)

Sahabat, Hamba yang selalu bermuroqobah adalah orang yang memiliki kecerdasan ruhiyah yang tinggi. Kesadaran itu dibangun berdasarkan pemikiran yang bersih. Sikap muraqabah digambarkan oleh Nabi Muhammad SAW, ketika beliau menjelaskan kata ihsan:

أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ

“Hendaklah kamu beribadah kepada Allah seolah-olah kamu melihatNya, dan jika memang kamu tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah melihat kamu.” (HR. Muslim)         

Sikap seperti ini di jaman modern sangat dibutuhkan sebagai pengendali udara materialistis yang dapat merusak sendi-sendi keimanan seseorang. Pengendalian melalui muraqabah lebih jauh akan mampu menciptakan tatanan masyarakat yang aman tentram (betul-betul terkendali).

Syeikh Ahmad bin Muhammad Ibnu Al Husain Al Jurairy mengatakan, bahwa  “Jalan kesuksesan itu dibangun di atas dua bagian. Pertama, hendaknya engkau memaksa jiwamu muraqabah (merasa diawasi) oleh Allah SWT. Kedua, hendaknya ilmu yang engkau miliki tampak di dalam perilaku lahiriahmu sehari-hari.”.

Inti muraqabah tercermin melalui firman Allah SWT : “Yang melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk shalat) dan melihat pula perubahan gerak badanmu diantara orang-orang yang sujud.  Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS.26:218-219).

Muraqabatullah atau kesadaran tentang adanya pengawasan Allah akan melahirkan ma'iyatullah (kesertaan Allah) seperti nampak pada keyakinan Rasulullah SAW (QS. 9:40) bahwa “Sesungguhnya Allah bersama kita” ketika Abu Bakar r.a sangat cemas musuh akan bisa mengetahui keberadaan Nabi dan menangkapnya. Begitu pula pada diri Nabi Musa a.s ketika menghadapi jalan buntu karena di belakang tentara Fir'aun mengepung dan laut merah ada di depan mata. Namun ketika umat pengikutnya panik dan ketakutan, beliau sangat yakin adanya kesertaan Allah. Ia berkata, “Sekali-kali tidak (akan tersusul). Rabbku bersamaku. Dia akan menunjukiku jalan”.

C.  Mu’ahadah (selalu mengingat perjanjian dengan Allah SWT)

Mu’ahadah adalah mengingat perjanjian dengan Allah SWT. Sebelum manusia lahir ke dunia, masih berada pada alam gaib, yaitu di alam arwah, Allah telah membuat “kontrak” tauhid dengan ruh. Kontrak tauhid ini terjadi ketika manusia masih dalam keadaan ruh belum berupa materi (badan jasmani). Karena itu, logis sekali jika manusia tidak pernah merasa membuat kontrak tauhid tersebut. Dan tepatilah Perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpahmu itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. (Qs. an-Nahl (16) : 91)

Mu’ahadah konkritnya diikrarkan oleh manusia mukmin kepada Allah setelah kelahirannya ke dunia, berupa ikrar janji kepada Allah. Wujudnya terefleksi minimal 17 kali dalam sehari dan semalam, bagi yang menunaikan shalat wajib, sebagaimana tertera di dalam surat Al Fatihah ayat 5 yang berbunyi: “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in”. Artinya, engkau semata wahai Allah yang kami sembah, dan engkau semata pula tempat kami menyandarkan permohonan dan permintaan pertolongan.

Ikrar janji ini mengandung ketinggian dan kemantapan aqidah. Mengakui tidak ada lain yang berhak disembah dan dimintai pertolongan, kecuali hanya Allah semata.

Kesadaran kita bahwa hidup bukan sekedar ada tetapi karena ada yang mengadakannya, adalah sikap dan sifat seorang muslim sejati. Allah menghidupkan kita dengan fasilitas yang diberikan-Nya bukanlah tanpa tujuan. Dan tujuan kita diciptakan adalah untuk beribadah hanya kepada-Nya. Dan hanya Allah sajalah yang harus kita pertuhankan, karena inilah inti kehidupan; yaitu mempertuhankan Allah dan tidak boleh menyekutukan- Nya dengan sesuatupun. Inilah perjanjian yang harus selalu kita ingat, sebagaimana di ungkapan oleh Allah: Dan ingatlah ketika Rabb mu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka, dan Allah mengambil kesaksian terhadap mereka (seraya berfirman): Bukankah Aku ini Tuhanmu?, mereka menjawab. Betul (engkau Tuhan kami) kami menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikian itu agar dihari kiamat kamu tidak mengatakan; Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (kesesaan Tuhan).(Qs. Al-Araf [7]:172)

Ingatlah selalu akan perjanjian kita dengan Allah yaitu untuk selalu beribadah hanya kepada-Nya. Jangan berpaling dari syariat-Nya dan tidak mendustai kebenaran yang turunkannya (al-Quran).

D. Mu’aqobah ( Memberi sangsi ketika lalai beribadah)

Mu’aqabah adalah pemberian sanksi oleh seseorang muslim terhadap dirinya sendiri atas keteledoran yang dilakukannya. “Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (al-Baqarah (2) : 179)

Memberikan sanksi (iqob) ketika kita lalai beribadah memang sesuatu yang tidak mudah. Dibutuhkan kesadaran diri yang prima dan keimanan yang sempurna. Hanya orang-orang yang mendapat rohmat dari Allah sajalah yang dapat melakukannya. Seringnya kita membiarkan kelalailan akan menghadirkan sikap meremehkan kesalahan. Dan lambat laun, ketika kesalahan sudah menjadi kebiasaan, maka dorongan melaksanakan ketaatan akan semakin hilang. Bahkan membiarkan diri dalam kesalahan akan mempermudah kesalahan-kesalahan yang lain.

Disinilah pentingnya kita mengiqob (memberikan sangsi) kepada diri agar jiwa terselamatkan dari dosa. Sanksi yang dimaksud disini adalah; apabila kita menemukan kesalahan maka tidak pantas bagi kita untuk membiarkannya. Bentuk pemberian sanksi tentu saja harus yang mubah dan tidak boleh berlebihan, apalagi sampai membahayakan diri. Seperti memukul kepala karena tidak sholat subuh. Atau membakar diri karena asyiknya nonton TV hingga lupa sholat Isya. Tentu saja tidak seperti itu.

Sebuah perilaku yang dapat kita jadikan contoh adalah; seperti kebiasaan pada generasi sahabat atau para salaf yang meng iqob diri secara langsung ketika mereka melakukan kekhilafan, misalanya: dalam sebuah riwayat dikisahkan bahwa Umar bin Khaththab pergi kebunnya. Ketika pulang didapatinya orang-orang sudah selesai melaksanakan sholat Ashar. Maka beliau berkata: Aku pergi hanya untuk sebuah kebun, aku pulang orang-orang sholat Ashar!..kini kebunku aku jadikan shodaqoh untuk orang-orang miskin. Subhanallah. Bagaimana dengan kita, bisakah kita mencontoh Umar, sudah berapa seringkah kita melalaikan kewajiban. Tetapi adakah kita pernah mengiqob diri karena banyaknya kekhilafan itu ?.  Sebagaimana disebutkan dalam beberapa contoh ; Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Umar bin Khaththab ra pergi ke kebunnya. Ketika ia pulang, maka didapatinya orang-orang sudah selesai melaksanakan Shalat Ashar. Maka beliau berkata, “Aku pergi hanya untuk sebuah kebun, aku pulang orang-orang sudah shalat Ashar! Kini, aku menjadikan kebunku sedekah untuk orang-orang miskin.”. Ketika Abu Thalhah sedang shalat, di depannya lewat seekor burung, lalu beliau pun melihatnya dan lalai dari shalatnya sehingga lupa sudah berapa rakaat beliau shalat. Karena kejadian tersebut, beliau mensedekahkan kebunnya untuk kepentingan orang-orang miskin, sebagai sanksi atas kelalaian dan ketidak khusyuannya.

E. Mujahadah (Adanya kesungguhan dalam ibadah)

Istilah mujahadah berasal dari kata jâhada-yujahidu-mujahadah jihad yang berarti mencurahkan segala kemampuan (badzlu al-wus’), Dalam konteks akhlaq, mujahadah adalah mencurahkan segala kemampuan untuk melepaskan diri dari segala hal yang menghambat pendekatan diri terhadap Allah SWT, baik hambatan bersifat yang internal maupun yang eksternal. Mujahadah di maknai juga bentuk optimalisasi dalam beribadah dan mengimplementasikan seluruh nilai-nilai Islam dalam kehidupan.  “Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan. Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya” (al-Hajj (22) : 77-78)

Ibadah adalah alasan Allah menciptakan manusia. Karena untuk itulah kita hidup dan di hidupkan. Kita hidup bukanlah sedekar hidup, tetapi harus mentaati aturan yang maha hidup, Dialah Allah. Bahkan ibadah adalah inti hidup, orang yang tidak punya orientasi ibadah dalam hidup seperti orang yang melakukan perjalanan tanpa tujuann, hampa.

Bermujahadah artinya bersungguh-sungguh dalam melaksanatan ketaatan dalam rangka menjemput keridhoan Allah. Hingga akhirnya ketaatan merupakan kebiasaan, bukan sebuah beban yang memberatkan.

Said Musfar Al-Qahthani mengatakan; Mujahadah berarti mencurahkan segenap usaha dan kemampuan dalam mempergunakan potensi diri untuk taat kepada Allah dan apa-apa yang bermanfaat bagi diri saat sekarang dan nanti, dan mencegah apa-apa yang membahayakannya. Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhoan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. (Qs. Al-Ankabut:69)

Sahabat, Bangkitnya seseorang dari kelemahan kepada semangat, dari kemaksiatan kepada taat, dari kebodohan kepada ilmu, dan dari keraguan kepada yakin; adalah ciri dari orang-orang yang bermujahadah. Selalu ingin mengoptimalkan nilai-nilai kebenaran dalam setiap gerak kehidupan.

Dengan melakukan rumus 5 M di atas, Insya Allah nilai kehidupan yang kita jalani akan semakin berarti. Sebab dengan Muhasabah kita selalu memperbaiki segala yang salah. Dengan Muroqobah kita selalu merasa keagungan Allah. Dengan Mujahadah kita tetap akan istiqomah. Dengan Muraqobah kita dapat mengurangi beban dari rasa bersalah dan dengan Mujahadah kehidupan kita akan selalu dipermudah. Insya Allah.

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amalan Tergantung Akhirnya

Anwar Anshori Mahdum Saudaraku, jika kita tidak tahu di bumi manakah kita akan mati, di waktu kapankah kita akan meninggal, dan dengan cara ...