![]() |
Anwar Anshori Mahdum |
Karena itu, bagaimana pun keadaan kita, prioritaskanlah beramal shalih; baik dengan harta ataupun tenaga. Mereka yang terus berusaha untuk mendapatkan harta yang lebih banyak, yang tak kalah pentingnya adalah terus meningkatkan kekuatan mental beramal yang lebih besar. Tambahnya penghasilan hendaknya diiringi dengan tambahnya sedekah.
Jika kekuatan sedekah dan pengorbanan tidak bertambah, maka tambahnya penghasilan bukannya menambah kemuliaan di hadapan Allah tapi kehinaan. Apalagi kalau cara yang ditempuh mendapat harta tidak memedulikan halal dan haram, maka sama saja menyiapkan neraka sejak di dunia ini. Untuk meningkatkan amal shalih, bukan tamak yang harus kita perturutkan, tetapi iman pada akhirat yang harus ditingkatkan. Iman akan mendorong kita menjadikan dunia ini sebagai ladang amal.
Iman kepada akhirat, bukan semata dihafal tetapi harus diresapi. Iman yang hakiki juga bukan sekedar diketahui tetapi dihayati sampai membawa kesadaran diri seolah melihat akhirat di pelupuk mata. Inilah yang dirasakan al-Harist sehingga membuatnya gigih beramal. ”Bagaimana keadaanmu pagi ini?” tanya Rasulullah kepada al-Harist yang sedang lewat di depan beliau. ”Pagi ini saya menjadi mukmin yang sebenarnya,” jawab al-Harist. Kemudian Rasulullah bersabda, ”Perhatikanlah apa yang engkau ucapkan itu, karena tiap- tiap sesuatu itu memiliki hakikat. Apakah hakikat keimananmu?”. al-Harist menjawab, ”Diriku telah menjauhi keduniaan, aku berjaga (tidak tidur) pada malam hari dan haus (berpuasa) pada siang hari, seolah- olah aku melihat Arasy Tuhanku tampak jelas, seakan-akan aku melihat para penghuni sorga sedang saling berkunjung, dan seakan-akan aku melihat penghuni neraka sedang meliuk- liuk kelaparan dan kepanasan”. Rasulullah bersabda, ”Wahai Harist, engkau sudah mengerti, maka istiqamahlah!” Beliau mengucapkan perkataan ini tiga kali. Semoga kita diberi istiqamah oleh Allah Ta’ala.
Mengimani adanya kehidupan akhirat dengan segala rentetan peristiwa yang ada di dalamnya merupakan bahagian yang tak terpisahkan dari pokok-pokok keimanan lainnya. Siapapun yang mengingkarinya terancam dimasukkan dalam kelompok orang-orang kufur. Namun yang penting sesungguhnya, bukan pada kapan hari kiamat itu datang. Bukan pula bagaimana kiamat itu terjadi termasuk nasib manusia yang hidup menyaksikan kiamat itu terjadi. Serta bukan juga bagaimana bentuk dan hakikat peristiwa-peristiwa akhirat kelak.
أنَّ رَجُلًا مِن أهْلِ البَادِيَةِ أتَى النَّبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم فَقالَ: يا رَسولَ اللَّهِ، مَتَى السَّاعَةُ قَائِمَةٌ؟ قالَ: ويْلَكَ! وما أعْدَدْتَ لَهَا؟ قالَ: ما أعْدَدْتُ لَهَا إلَّا أنِّي أُحِبُّ اللَّهَ ورَسولَهُ (رواه البخاري و مسلم)
"Rasulullah
pernah didatangi oleh seseorang yang menanyakan kapan terjadinya hari kiamat
dan pertanyaan-pertanyaan terkait lainnya. Lalu Rasulullah berkata kepada orang
itu: “Tidak perlu engkau tahu kapan kiamat terjadi, tapi yang perlu engkau
pastikan adalah apa yang engkau persiapkan untuk kehidupan setelah hari kiamat
nanti”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar