Kamis, 22 Agustus 2024

Terkurung Dalam Penjara Materialisme

Materialisme adalah pandangan hidup yang semata mata hanya mencari kesenangan dan kekayaan  merupakan satu-satunya tujuan atau nilai tertinggi. Paham ini mengesampingkan nilai nilai rohani, bahkan tidak mengakui adanya budaya immaterial atau adanya “Tuhan”. Contoh: seseorang dengan pekerjaan, jabatan yang bagus ia percaya hanya dengan itulah yang bisa menghidupinya. Dalam contoh ini orang tersebut hanya semata mata mencari dan mementingkan materi tanpa mengingat Tuhan, dia lupa bahwa pekerjaan, jabatan, rezeki Tuhanlah yang mengatur.

Begitu kuatnya mereka terikat dengan kecintaan kepada materi, hingga para pemikir humanisme barat sekitar abad ke-19 dan awal abad ke-20 berani menyatakan,”Singkirkan Tuhan dari kaidah moral, dan gantikan dengan kata hati, sebab manusia adalah makhluk yang punya kata hati yang melawan moral bawaan.”

Dalam sebuah masyarakat yang berideologi materialisme, seseorang menjadi sangat iri dan berambisi menjadi kaya setiap kali melihat ada orang yang berlimpah harta lewat di tengah kehidupan mereka. Sikap ini tidak hanya negatif tapi juga mendorong muncul berbagai tindakan yang amoral. Seperti yang di jelaskan Ibn Khaldun, beliau menyatakan:“Tindakan amoral, pelanggaran hukum dan penipuan, demi tujuan mencari nafkah meningkat di kalangan mereka. Jiwa manusia dikerahkan untuk berfikir dan mengkaji cara-cara mencari nafkah, dan untuk menggunakan segala bentuk penipuan untuk tujuan tersebut. Masyarakat lebih suka berbohong, berjudi, menipu, menggelapkan, mencuri, melanggar sumpah dan memakan riba.

Karena itu agama hanya dijadikan komoditas, sebuah kepentingan bagi pemenuhan hidup manusia. Agama kemudian ditundukkan untuk pemuasan kebutuhan material semata. Akibat dari semua itu, hampir seluruh masyarakat dunia masuk dalam perangkap materialisme, tidak terkecuali dunia islam.

Orang yang berakal sehat tidak akan tenggelam dalam penjara materialisme. Mereka sangat memahami bahwa kebahagiaan bukanlah diukur dari berapa banyak materi yang diperoleh. Sedikit lebih baik bila disyukuri, daripada banyak tetapi dikufuri.

Mereka yang sedang terkurung dalam penjara materi sesungguhnya memahami bahwa kesenangan dunia ini bila dipakai akan berkurang dan bila dibiarkan akan hilang. Bahkan mereka pun sering menyaksikan atau mungkin merasakan, semakin banyak dunia yang didapat dan dimiliki maka akan semakin berat mempertanggungjawabkannya. Semakin kuat kita mengejarnya maka akan semakin lelah dibuatnya.

Syaikh Ahmad Atha’illah dalam kitab “Al-Hikam” mengungkapkan ”Sesungguhnya bangunan wujud (dunia) ini akan rusak sendi-sendinya, dan akan musnah semua kemuliaan (kebesarannya).” Itulah dunia, tidak kekal karena memang sifatnya fana, yakni sementara dan cepat rusak juga membosankan. Kalau sudah tidak suka dibuang menjadi barang yang tidak berharga, itulah dunia. Rasulullah bersabda: 

لَيْسَ بِخَيْرِكُمْ مَنْ تَرْكِ دُنْيَا هَ لآخِرَتِهِ حَتَّى يُصِيْبَ مِنْهُمَا جَمِيْعًا فَاِ نَّ الدُّ نْيَا بَلاَعٌ اِلَى اْلآخِرَةِ وَلاَ تَكُوْنُوْا كَلاًّ عَلَى النَّا سِ (رواه ابن عساكرعن انس

Bukan orang yang terbaik diantaramu orang yang meninggalkan dunianya untuk akhiratnya dan yang meninggalkan akhiratnya untuk dunianya, sesungguhnya dunia ini bakal ke akhirat, dan janganlah kamu menjadi beban atas manusia. (HR. Ibnu Asakir dari Anas)

Hadist ini menjelaskan tentang kehidupan manusia yang seharusnya, yaitu kehidupan yang berimbang, kehidupan dunia harus diperhatikan disamping kehidupan di akhirat. Islam tidak memandang baik terhadap orang yang hanya mengutamakan urusan dunia saja, tapi urusan akhirat dilupakan. Sebaliknya Islam juga tidak mengajarkan umat manusia untuk konsentrasi hanya pada urusan akhirat saja sehingga melupakan kehidupan dunia. Barangsiapa menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambahkan keuntungan itu baginya, dan barangsiapa menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian darinya (keuntungan dunia), tetapi dia tidak akan mendapat bagian di akhirat.” [QS. Asy-Syûrâ [42]:20]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amalan Tergantung Akhirnya

Anwar Anshori Mahdum Saudaraku, jika kita tidak tahu di bumi manakah kita akan mati, di waktu kapankah kita akan meninggal, dan dengan cara ...