Senin, 02 September 2024

Amalan Tergantung Akhirnya


Anwar Anshori Mahdum

Saudaraku, jika kita tidak tahu di bumi manakah kita akan mati, di waktu kapankah kita akan meninggal, dan dengan cara apakah kita akan mengakhiri kehidupan dunia ini, masihkah kita merasa aman dari intaian kematian?. Siapa yang bisa menjamin bahwa kita bisa menghirup segarnya udara pagi esok hari? Siapa yang bisa menjamin kita bisa tertawa esok hari? Atau siapa tahu sebentar lagi giliran kematian Anda.

Di manakah saudara-saudara kita yang telah meninggal saat ini? Yang beberapa waktu silam masih sempat tertawa dan bercanda bersama kita. Saat ini mereka sendiri di tengah gelapnya himpitan kuburan. Berbahagialah mereka yang meninggal dengan membawa amalan sholeh dan sungguh celaka mereka yang meninggal dengan membawa dosa dan kemaksiatan.

Kalaulah tidak ada pertanggung jawaban tentang akhir kehidupan kita, bolehlah kita melakukan apa saja yang kita mau. Kita dapat memilih apa yang kita suka. Tetapi kita bukan binatang, yang setelah kematiannya, tidak ada lagi kelanjutan, tidak ada masa pertanggung jawaban, tidak ada pertanyaan. Oleh karenanya binatang tidak memiliki beban dosa dari perbuatan jahatnya. Karena setelah ia mati dari kehidupan dunianya, itu adalah akhir dari kehidupannya.

Tetapi kita manusia, yang semua gerak kita akan dimintai pertanggung jawabannya, oleh karenanya memelihara diri agar tidak terjatuh pada lumpur dosa, agar tidak terlena dengan kehidupan yang pana adalah kewajiban kita. Renungkan firman Allah dalam surah 2:281. “Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apayang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan)”. (QS. Al-Baqoroh [2]:281).

Keadaan seseorang saat tutup usia memiliki nilai tersendiri, karena balasan baik dan buruk yang akan diterimanya tergantung pada kondisinya saat tutup usia. Sebagaimana dalam hadits yang shahih :

 إنَّمَا الأَعْمَالُ بِالخَـوَاتِيْمُ رواه البخاري وغَيْرُهُ.             

“Sesungguhnya amalan itu (tergantung) dengan penutupnya”. [HR Bukhari dan selainnya]

 Oleh sebab itulah, seorang hamba Allah yang shalih sangat merisaukannya. Mereka melakukan amal shalih tanpa putus, merendahkan diri kepada Allah agar Allah memberikan kekuatan untuk tetap istiqamah sampai meninggal.



 



Minggu, 01 September 2024

Musibah Ukuran Kesabaran

Anwar Anshori Mahdum

Hidup manusia tidak akan pernah lepas dari masalah dan ujian. Karena dari sanalah kualitas seorang manusia bisa terlihat. Perbedaannya, ia bisa mengatasi masalah dengan baik atau justru semakin terbenam bersama masalah tersebut. Besar kecilnya masalah tak lepas dari kondisi pikiran kita. Terkadang tanpa disadari sebuah masalah kecil bisa menjadi besar karena pikiran Anda mengkondisikan seperti itu.

Beberapa ayat al-Qur’an mengetengahkan tentang alasan Allah menguji manusia yang beriman, diantaranya adalah:

- Karena Allah ingin mengetehui siapa dari hamba-Nya yang paling baik usahanya (amalannya). “Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya.. Qs.Al-Kahfi [18]: 7

-  Karena Allah ingin mengetahui siapakah hanba-Nya yang bersungguh-sungguh (mujahid) dan yang penyabar.  “Dan Sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kamu, dan agar Kami menyatakan (baik buruknya) hal ihwalmu “. Qs. Muhammad [47]:31

-  Agar dapat diketahui siapakah sesungguhnya para penghuni surga dan neraka.“Supaya Allah memisahkan (golongan) yang buruk dari yang baik dan menjadikan (golongan) yang buruk itu sebagiannya di atas sebagian yang lain, lalu kesemuanya ditumpukkan-Nya, dan dimasukkan-Nya ke dalam neraka Jahannam. mereka Itulah orang-orang yang merugi. Qs. al-Anfal [8]:37

-  Agar  Manusia kembali kepada kebenaran “ .. dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada kebenaran). Qs. Al-A’raf [7]:168.

Dari beberapa ayat yang diabadikan Allah di atas, berarti ujian atau musibah sesungguhnya untuk mengukur siapa yang terbaik dari hamba-Nya dalam menyikapi berbagai perkara dunia. Bahkan dalam banyak catatan para ulama, mereka memberikan gambaran yang lebih luas tentang makna dan hakekat ujian atau musibah. Gambaran yang mereka sampaikan adalah;

- Musibah adalah seleksi alam untuk menentukan siapa yang kuat bertahan.

- Musibah adalah tes untuk menyaring tingkat kepercayaan manusia kepada Allah.

-Musibah adalah atas seleksi keyakinan manusia bahwa Allah maha mendengarkan dan memperkenankan pintanya.

-Musibah adalah seleksi terhadap kadar kepercayaan mereka bahwa Allah senantiasa menolong agama dan ummat in

-Musibah  adalah seleksi terhadap tingkat keyakinan muslim terhadap kemampuan  produktivitasnya-Musibah adalah kunci yang mampu membuka mata hati dan menampakan wajah asli kita.

Semoga Allah membuka pintu hati kita agar mampu menemukan hikmah dibalik setiap musibah yang datang. Ketahuilah, dibalik setiap musibah yang menyakitkan jika kita bersabar dan bersyukur, tersimpan kebaikan yang begitu banyak.

 

 


 

Menyikapi Ujian Sakit


Anwar Anshori Mahdum

Sakit, apapun jenisnya, sebesar apapun kadarnya dan selama apapun waktunya, kehadirannya sangat tidak diharapkan. Kenikmatan menjadi hilang, pekerjaan menjadi terhalang, bahkan kebersamaan terasa tak nyaman. Dalam keadaan sakit terkadang pertanyaan muncul dalam benak kita, “Mengapa Allah memberikan sakit ini?”, Apa salah saya hingga ujian sakit seberat ini”?. “Apakah Allah sedang menguji saya”?.

Sahabat, Saat Allah menakdirkan kita untuk sakit, pasti ada alasan tertentu yang menjadi penyebab itu semua. Tidak mungkin Allah Subhanahu wa ta’ala melakukan sesuatu tanpa sebab yang mendahuluinya atau tanpa hikmah di balik semua itu. Allah Subhanahu wa ta’ala pasti menyimpan hikmah di balik setiap sakit yang kita alami. Karenanya, tidak layak bagi kita untuk banyak mengeluh, menggerutu, apalagi su’udzhan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Lebih parah lagi, kita sampai mengutuk takdir.

Penyikapan manusia saat di berikan penyakit berbeda-beda, tergantung kualitas daya tahan imun dan daya tahan imannya. Ada yang memahami musibah itu dengan baik, sehingga dia bisa ridha terhadap ujian yang Allah berikan. Dia berkeyakinan bahwa ujian ini adalah sumber pahala baginya. Sehingga sama sekali dia tidak merasa telah didzalimi oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Di saat itulah, Allah akan memberikan keridhaan dan pahala yang besar kepadanya. Sebaliknya, ada orang yang menyikapi musibah itu dengan cara yang salah. Dia menganggap sakit ini adalah kezaliman dan ketidakadilan..

وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ، فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا، وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ                

“Sesungguhnya Allah ketika mencintai suatu kaum, Dia akan menguji mereka dengan musibah. Siapa yang ridha dengan musibah itu maka dia akan mendapatkan ridha Allah. Sebaliknya, siapa yang marah dengan musibah itu maka dia akan mendapatkan murka Allah.” (HR. Ahmad 23623, Tirmidzi 2396 dan dishahihkan al-Albani).

Apabila seorang hamba bersabar dan imannya tetap tegar maka akan ditulis namanya dalam daftar orang-orang yang sabar. Apabila kesabaran itu memunculkan sikap ridha maka ia akan ditulis dalam daftar orang-orang yang ridha. Dan jika memunculkan pujian dan syukur kepada Allah maka dia akan ditulis namanya bersama-sama orang yang bersyukur. Jika Allah mengaruniai sikap sabar dan syukur kepada seorang hamba maka setiap ketetapan Allah yang berlaku padanya akan menjadi baik semuanya. "Mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman Dan Allah adalah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui."(QS. an Nisaa [4]:147)

Sahabat, setiap orang pernah mengalami sakit, sebab ia adalah siklus-hidup. Karena itu, sakit tidak dapat dihindari, yang terpenting adalah bagaimana menyikapi sekaligus menghayati sakit. Sikap terbaik terhadap sakit adalah syukur, sabar, dan optimistis. Syukur karena jika dihitung masa sakit lebih sedikit dari masa sehat. Sabar karena ia adalah penolong dalam menaklukkan segala cobaan hidup.  Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu', (QS Al-Baqarah [2]:45).

Selain hikmah di atas, sakit yang di derita seorang muslim sesungguhnya adalah jembatan kesadaran untuk membangun pengharapan. Apalagi  sakit yang telah sekian lama tak kunjung sembuh.  Sakit dihadirkan Allah Swt untuk meruntuhkan kepongahan sifat duniawi kita, sekaligus mengasah kepekaan bathiniyah kita. dalam kondisi seperti ini satu-satunya yang jadi tumpuan harapan hanyalah Allah semata, sehingga ia mengadu: “Ya Allah tak ada lagi harapan untuk sembuhnya penyakit ini kecuali hanya kepada-Mu.”

Sudah selayaknya bagi setiap mukmin untuk kemudian bertambah imannya saat ujian itu datang, termasuk di dalamnya adalah ujian sakit yang merupakan bagian dari ujian yang menimpa jiwa. Jangan sampai kita menjadi seperti orang-orang munafik yang tidak mau bertaubat atau tidak mau mengambil pelajaran saat mereka diuji oleh Allah subhanahu wa ta’ala. “Dan tidaklah mereka memperhatikan bahwa mereka diuji sekali atau dua kali setiap tahun, dan mereka tidak (juga) bertaubat dan tidak (pula) mengambil pelajaran?” (QS. At-Taubah [9]: 126).

 Begitu cintanya Allah kepada kita sehingga Dia mengingatkan kita melalui sakit ini, agar kita dapat segera bertaubat sebelum ajal menjemput kita. Dari ‘Aisyah radhiyallahu‘anha ia berkata, “Aku mendengar Rasulallah Shallallahu ‘alaihi Wassalam  bersabda, “Tidaklah seorang muslim tertimpa musibah walau hanya tertusuk duri, kecuali Allah akan mencatat baginya kebaikan dan dihapus baginya kesalahan dan dosanya,” (HR.Muslim)




Akibat Menuhankan Harta

Anwar Anshori Mahdum

Manusia baik secara pribadi, keluarga, ataupun masyarakat, walaupun dapat meraih apa yang diinginkannya tetapi ketika cara mendapatkannya tidak sesuai dengan apa yang Allah syariatkan, maka pasti akan mengalami kehancuran. Jiwa tidak merasa terpuaskan. Hidup selalu dihantui rasa takut yang menggelisahkan. Itulah orang-orang yang menjadikan harta dunia sebagai Tuhan. Allah menegaskan dalam firman-Nya: Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Ilah (Tuhan)-nya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat)? Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran? (QS Al-Jaatsiyah [45] : 23).

Ketahuilah sahabat, bila kita secara individu maupun masyarakat terlalu berlebihan memberikan prioritas pada urusan materi (harta), tidak mungkin cenderung kepada moralitas yang menuntut ketaatan sepenuhnya pada hukum-hukum kehidupan yang telah digariskan. Orang yang mengesampingkan segala urusan selain uang dan uang dalam perjuangan hari-harinya, tidak dapat berpegang pada etika keadilan dan kebenaran, dan cenderung pada kesalahan.

Catatlah dalam hati bahwa cinta dunia adalah pangkal segala kesalahan. Buah dari kecintaan yang berlebihan terhadap harta (dunia) akan membawa pelakunya pada beberapa keadaan, di antaranya adalah: PertamaMencintainya akan mengakibatkan mengagungkannya. Kedua: Mencintainya akan menyibukkan kehidupannya, hingga lalai terhadap kewajibannya. KetigaPecinta dunia akan mendapat azab yang berat dan disiksa di tiga negeri, yaitu: di alam dunia ia diazab dengan kerja keras untuk mendapatkannya; di alam barzakh ia diazab dengan perpisahan dari apa yang dicintainya; dan di alam akhirat ia akan diazab untuk mempertanggungjawabkan tentang dunia yang dimilikinya.

Ada beberapa hal yang mesti dicamkan oleh umat Islam dalam menyikapi harta benda, yaitu:

Pertama, harta adalah anugerah dari Allah yang harus disyukuri. Tidak semua orang mendapatkan kepercayaan dari Allah SWT untuk memikul tanggung jawab amanah harta benda. Karenanya, ia harus disyukuri sebab jika mampu memikulnya, pahala yang amat besar menanti.

Kedua, harta adalah amanah dari Allah yang harus dipertanggungjawabkan. Setiap kondisi – entah baik ataupun buruk - yang kita alami sudah menjadi ketentuan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan mesti kita hadapi secara baik sesuai dengan keinginan yang memberi amanah.  Di balik harta melimpah, ada tanggung jawab dan amanah yang mesti ditunaikan. Harta yang tidak dinafkahkan di jalan Allah akan menjadi kotor karena telah bercampur bagian halal yang merupakan hak pemiliknya dengan bagian haram yang merupakan hak kaum fakir, miskin, dan orang-orang yang kekurangan lainnya.

Ketiga, harta adalah ujian. Yang jadi ujian bukan hanya kemiskinan, tetapi kekayaan juga merupakan ujian. Persoalannya bukan pada kaya atau miskin, tetapi persoalannya adalah bagaimana menghadapinya. Kedua kondisi itu ada pada manusia, yang tujuannya di balik itu cuma satu, yaitu Allah ingin mengetahui siapa yang terbaik amalannya.

Keempat, harta adalah hiasan hidup yang harus diwaspadai. Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan bagi manusia banyak hiasan hidup. Keluarga, anak, dan harta benda adalah hiasan hidup. Dengannya, hidup menjadi indah. Namun, patut disadari bahwa pesona keindahan hidup itu sering menyilaukan hingga membutakan mata hati dan membuat manusia lupa kepada-Nya, serta lupa kepada tujuan awal penciptaan hiasan itu. Semua itu sebenarnya merupakan titipan dan ujian.

Kelima, harta adalah bekal beribadah. Tujuan penciptaan manusia adalah untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karenanya, segenap perangkat duniawi, baik yang meteril maupun yang nonmateril, tercipta sebagai sarana yang bisa digunakan manusia untuk beribadah. Kekayaan adalah salah satu sarana ibadah. Ia bukan hanya menjadi ibadah kala dinafkahkan di jalan Allah, ia bahkan sudah bernilai ibadah kala manusia dengan ikhlas mencari nafkah untuk keluarganya dan selebihnya untuk kemaslahatan umat.

 

Manusia Menyikapi Dunia

Anwar Anshori Mahdum

Dalam kehidupan dunia, kita menemukan paling tidak ada tiga kelompok manusia dalam menyikapi kehidupan;

Pertama; Kelompok yang menganggap hidup hanya satu kali, yaitu di dunia. Oleh karenanya harus dinikmati sepuas-puasnya. Tentang kelompok ini Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:  “Dan mereka berkata: “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa”. Dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja”. (QS. Al-Jatsiyah [45]:24)

Kedua; Kelompok yang memburu dunia dengan meninggalkan akhirat. Namun nasib mereka malang, dunia yang dikejar tidak dapat, akhirat yang ditinggal hilang. Tepat sekali Hasan Al-Banna menggambarkan kelompok ini dalam sebuah bait sya’irnya: “Kita tambal dunia kita dengan merobek agama. Agama kita hilang, duniapun tidak tertolong

Ketiga; Kelompok yang menjadikan dunia ibarat ladang untuk bercocok tanam, sedang hasilnya akan dipetik nanti di akhirat. Kehidupan di dunia ini tidak lebih ibarat permainan dan senda gurau sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala“Tiadalah hidup di dunia ini melainkan pemainan dan senda gurau belaka. Sesungguhnya kampung Akhirat lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?” (Q.S. Al-An’am [6]:32)

Mereka tidak menyia-nyiakan hidup di dunia karena mereka yakin, untuk mencapai akhirat haruslah melalui dunia. Mereka berpedoman pada firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (Q.S. Al-Qashash [28]:77)

Dari ketiga kategori umat manusia di atas, tentu saja yang ideal dan sesuai dengan tuntutan Al-Qur’an dan Hadits adalah kelompok ketiga yang memiliki orientasi dunia dan akhirat secara seimbang.

 


Perangkap Hawa Nafsu

Dalam kehidupan ini kita dikelilingi oleh kebutuhan-kebutuhan tertentu yang mencengkeram dengan kuat sejak hari kita dilahirkan, seperti kebutuhan makanan, pakaian dan tempat berteduh. Kebutuhan-kebutuhan ini adalah alami dan harus dipenuhi secara permanen. Ia adalah motif yang memungkinkan manusia berjuang terus-menerus.

Sebagai hasil naluri ini, manusia menjauhi apa yang merugikannya dan tertarik kepada hal-hal yang menguntungkan tetapi kemudian dalam proses pencariannya, begitu banyak di antara kita yang lupa dan terlena sehingga terperangkap oleh belenggu hawa nafsu dan pada akhirnya tidak sedikit di antara kita yang tenggelam di laut kesesatan dan kerakusan. Kita telah kehilangan hati nurani jauh lebih senang menjadi pelayan hawa nafsu. Sungguh, inilah awal sebuah kehancuran yang tak terelakan.

Ibnul-Qayyim Al-Jauziah mengungkapkan bahwa ada dua kelompok manusia, pertama: mereka yang dikalahkan, dikuasai, dan dihancurkan oleh hawa nafsunya. Ia benar-benar duduk di bawah kendali nafsunya. Kedua: Orang yang berhasil memenangkan pertarungan melawannya dan nafsunya tunduk di bawah perintahnya. Mohonlah kepada Allah agar kita dijadikan kelompok yang kedua, sebab bukan saja akan mendapatkan keselamatan dunia, juga di akhirat pun kita akan mendapatkan balasan surga.

Allah telah menciptakan manusia dengan tujuan antara lain agar manusia dapat merasakan kesenangan di dunia. (QS.3:19). Namun, Allah juga menghendaki agar dalam rangka memperoleh kesenangan tersebut, manusia tidak melanggar aturan-aturanNya. Dalam hal ini Allah memberi peluang agar manusia tidak hanya dapat memperoleh kesenangan duniawi saja dengan memenuhi dorongan hawa nafsu, namun juga berhak untuk mendapat kebahagiaan di akhirat dengan cara mengendalikan hawa nafsu agar tetap mengikuti aturan-aturanNya. Hawa nafsu yang tunduk pada aturan-aturan Allah itulah yang dinamakan hawa nafsu yang mendapat petunjuk dan rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“ dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang. (QS. Yusuf [12]: 53).

Hanya Sehelai Sayap Nyamuk

Sadarkah kita bahwa kehidupan pasca dunia teramat panjang dan tidak dapat diukur dengan hitungan waktu manusia?. Astaghfirullah, rasanya berat nian pertanggungjawaban kita kelak di hadapan Allah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam bersabda: Dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Sesungguhnya dunia itu manis lagi hijau, dan sesungguhnya Allâh menjadikan kamu sebagai khalifah di dunia ini, lalu Dia akan melihat bagaimana kamu berbuat. Maka jagalah dirimu dari (keburukan) dunia…. [HR Muslim, no. 2742].

Ali bin Abi Thalib mengatakan,

ارْتَحَلَتِ الدُّنْيَا مُدْبِرَة، وَارْتَحَلَتِ الآخِرَةُ مُقْبِلَةً، وَلِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا بَنُونَ، فَكُونُوا مِنْ أَبْنَاءِ الآخِرَةِ، وَلا تَكُونُوا مِنْ أَبْنَاءِ الدُّنْيَا، فَإِنَّ الْيَوْمَ عَمَلٌ وَلا حِسَاب، وَغَداً حِسَابٌ وَلا عَمَل”.

“Kehidupan dunia pergi menjauh, sedangkan akhirat kian mendekat, dan masing-masing dari keduanya (dunia dan akhirat) memiliki anak-anak, Maka jadilah kalian anak-anak akhirat, dan janganlah kalian menjadi anak-anak dunia. Karena sejatinya sekarang ini adalah waktu untuk beramal tanpa ada hisab, sementara besok (di akhirat) adalah waktu hisab dan bukan untuk beramal.”

Besarnya dunia di ibaratkan hanya sehelai sayap nyamuk. Dari Sahl bin Sa’id as-Sa’idi radhiyallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam bersabda,

لَوْ كَانَت الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ الله جَنَاحَ بَعُوضَةٍ ، مَا سَقَى كَافِراً مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ         

“Seandainya dunia ini di sisi Allah senilai harganya dengan sayap nyamuk niscaya Allah tidak akan memberi minum barang seteguk sekalipun kepada orang kafir” (HR. Tirmidzi, dan dia berkata: ‘hadits hasan sahih’)

Buka lembaran mulia firman Allah, selami lautan ilmu yang tak terbatas. Kita akan menemukan sebuah kebenaran yang hakiki, juga sebuah informasi yang pasti. Bahwa di sekian banyak ayat, begitu jelas Allah berfirman tentang keberadaan dunia dan sifat-sifat yang terdapat di dalamnya. Renungkanlah:

Pertama; Dunia adalah mata’ (kesenangan yang menipu). Ketertipuan kita terhadap dunia terjadi manakala kita beralih sikap dari menjadikan dunia sebagai sarana menjadi tujuan. Dari pelengkap menjadi utama, dan dari beribadah menjadi demi benda-benda. Allah berfirman,

Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS Ali ‘Imraan [3]:14 

Kedua: Dunia adalah la’ib (main-main) dan laghwu (senda gurau). Dunia bagai panggung sandiwara dimana kita hanya memainkan peran yang ditugaskan sang sutradara. Sutradara kehidupan adalah Allah. Manusia menyusuri relung-relung ketentuan Allah dalam upaya-upaya yang dikerjakannya. Oleh karena itu tertipulah manusia yang menganggap upayanya di dunia sebagai satu-satunya faktor yang menentukan hari depannya. Allah berfirman,

Dan tiadalah kehidupan dunia ini selain dari main-main dan sendau gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidaklah kamu memahaminya?” (QS Al-An’aam [6] : 32)

Ketiga: Dunia ini qalil (kecil). Allah Menciptakan alam raya ini lengkap dengan atribut yang ada di dalamnya. Mulai dari gugusan bintang-bintang yang tampak begitu kecil sampai pada planet-planet yang ada di dalamnya. Dunia adalah salah satu dari planet yang Allah Ciptakan. Bahkan dunia ini bagaikan debu kecil yang berterbangan di langit yang maha luas ini. Di tempat yang kecil inilah kita berada di dalamnya, hidup dan berkembang. Oleh karenanya, betapa kerdilnya kita menganggap bahwa kenikmatan dunia ini besar, seakan tidak ada yang lain yang mampu memberikan kenikmatan itu. Allah subhanahu wa Ta’ala berfirman,

”… Katakanlah: “Kesenangan di dunia ini hanya kecil (sebentar) dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertaqwa dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun.”” ( QS.An-Nisaa’ [4] :77)

Allah Tahu yang Kita Mau

Anwar Anshori Mahdum

Sahabat, siapakah yang memiliki diri kita, bumi dan seluruh alam semesta ini?. Siapakah yang menciptakan kita dari tidak ada menjadi ada, yang menganugerahkan kenikmatan yang kita rasa dan yang selalu membolak balikkan hati kita. Dialah Allah, sang pemiliki seruan yang sempurna. Allah memberikan sesuatu kepada kita bukan apa yang kita inginkan, tetapi apa yang kita butuhkan. Kehendak-Nyalah yang menjadikan kita tetap hidup, karena kehidupan Dialah yang mengatur-Nya.

Maha suci Allah! Tak ada satu kejadianpun yang terjadi tanpa sepengetahuan-Nya. Bahkan daun yang gugur dan butiran pasir yang terbangpun tak luput dari pengawasan-Nya. Sungguh Allah Maha besar lagi Maha Kuasa.  Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; Maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda- tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir. (QS.Az-Zumar [39]:42)

Jika telah jelas tentang ke-Mahakuasaan Allah, lantas atas alasan apalagi yang menyebabkan kita selalu merasa tak berharga. Seharusnya, apapun yang kita cari dalam hidup ini, kita harus mengikuti maunya Allah, bukan memaksakan Allah harus mengikuti maunya kita. Sebab Allah sangat tahu sesuatu yang kita mau, sementara kita sendiri jangankan mengetahui maunya Allah, maunya diri kita sendiri sering tak kita ketahui.

Kebanyakan dari “mau”nya kita adalah; setiap kita berdoa cepat dikabulkan, ketika kita berharap sesuatu harus di segerakan. Sementara dalam doa dan permintaan kita kepada Allah tidak di imbangi dengan menyegerakan maunya Allah kepada kita. Inilah kita, manusia. Terkadang hanya pintar bertutur, tetapi sulit untuk di atur.. Pernahkan Allah menolak pengaduan hamba-Nya walau kita sering berbuat dosa. Jawabannya tidak. Allah tidak pernah memalingkan wajah-Nya bahkan Allah melambaikan tangan, memanggil kita disetiap waktu shalat “Hayya ‘Alas Shoolaah”, tetapi pernahkah kita tersadar dikala kita berbuat salah atas panggilan itu.

Saking baiknya Allah kepada kita, kita datang kepada-Nya diwaktu kapan saja. Entah di kala pagi, siang, sore, malam, Allah setia mendengarkan keluh kesah kita.. Sesungguhnya kitalah yang butuh kepada Allah. Kenapa?, karena memang segala apapun isi dunia Dialah yang menciptakannya.

"Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu, kemudian Dia menuju langit, lalu Dia menyempurnakannya menjadi tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu." (QS Al Baqarah [2]: 29).

Seluruh potensi yang ada di dalam dan permukaan bumi dihamparkan untuk diambil manfaatnya oleh manusia. Tidak ada satu pun makhluk di alam ini yang tidak bermanfaat. Nyamuk misalnya. Walaupun menganggu, berapa banyak orang dapat tumbuh kreativitasnya gara-gara nyamuk, mereka menciptakan pabrik obat nyamuk, ratusan orang bekerja hingga akhirnya banyak orang yang tercukupi ekonominya. Allah telah menciptakan alam dengan sangat sempurna, sehingga manusia dapat hidup di dalamnya dengan nyaman, semuanya telah ditata dengan akurat. Perjalanan siang dan malam, rantai makanan antara makhluk hidup sampai pada lingkungan tempat ia hidup, semuanya telah diatur dengan hukum-Nya. Dan itu semua merupakan anugerah yang Allah berikan untuk memuaskan mau-nya kita sebagai hamba-Nya.

  

Amalan Tergantung Akhirnya

Anwar Anshori Mahdum Saudaraku, jika kita tidak tahu di bumi manakah kita akan mati, di waktu kapankah kita akan meninggal, dan dengan cara ...